Buya Syafii Maarif bukan lahir dari keluarga kaya. Dengan mengabdikan diri pada bidang pendidikan berhasil mengantarkannya menjadi ulama dan Cendekiawan Indonesia.
Buya Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia pada Jumat, 27 Mei 2022. Dia sudah masuk ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, DI Yogyakarta sejak Sabtu, 14 Mei, 2022. Nafasnya sesak karena penyakit jantung yang dia derita.
Awal Maret 2022, Syafii Maarif sudah sempat menjalani perawatan medis di RS PKU Gamping. Setelah hampir 2 pekan dirawat, kondisi Buya sempat membaik dan diperkenankan untuk pulang.
Kepulangan Buya Safii Maarif memang membuat banyak orang berduka. Dia figur penting bagi organisasi Muhammadiyah, tokoh cerdas bagi Indonesia, sosok diperhitungkan bagi politik. Dia adalah Cendekiawan Tanah Air.
Siapa Ahmad Syafii Maarif?
Ahmad Syafii Maarif lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935. Bapaknya bernama Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu. Ibunya, Fathiyah. Dia anak paling uncit. Ada 3 abang-kakaknya yang seibu-seayah. Kalau saudara seayah beda ibu, ada 15 orang.
Ayahnya adalah toke gambir. Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A Wahid.
Dia dimasukkan ke sekolah rakyat atau SR—setingkat SD—di kampungnya. Pulang sekolah, Pi’i, begitu ia disapa, juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.
Tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan. Karena beban ekonomi yang ditanggung sang ayah sangat besar, setelah tamat sekolah, Pi’i tak dapat meneruskan sekolahnya. Dia nganggur lebih kurang 4 tahun.
Di tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas 3.
Hidup Sebagai Perantauan?
Pada tahun 1953—usianya masih 18 tahun—Buya pamit kepada kedua orang tuanya untuk merantau ke Jawa. Dia membawa 2 adik sepupunya bernama Azra’i dan Suward. Buya diajak oleh M Sanusi Latif—akademi Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol, Padang.
Sampai di Yogyakarta, Keinginan untuk mengenyam pendidikan pun, kandas. Madrasah Muallimin di sana menolaknya di kelas 4 dengan alasan kelas sudah penuh. Namun, tak lama setelah kejadian itu, dia malah diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah itu, walau tidak lama.
Dia saat yang sama, Buya bersama salah satu sepupunya bernama Azra’i, ikut sekolah montir. Beberapa bulan kemudian lulus. Dia kembali mendaftar ke Madrasah Muallimin, dan diterima.
Selama mengenyam pendidikan di sekolah itu, Syafii Maarif aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar yang kini dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin—sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.
Dalam usia 21 tahun—tidak lama setelah tamat—dia memutuskan berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.
Di sana, Buya disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat dia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Tapi tidak lama.
Dia kembali ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta, yakni di Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP—sekarang Universitas Negeri Yogyakarta—dan tamat pada tahun 1968.
Kondisi ekonomi keluarga yang kembang kempis sama sekali tidak menyurutkan semangat belajarnya. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dia pernah menjadi guru ngaji, bahkan buruh, sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada tahun 1958.
Lumayan lah, penghasilannya bekerja di sana cukup membantu. Bahkan setelah bekerja di sana, Buya membuka dagang kecil-kecilan, join bersama temannya.
Dia juga pernah menjadi guru honorer di Baturetno. Sama seperti saat dia di Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Jenjang Pendidikan
Dia adalah aktivitas Himpunan Mahasiswa Islam. Kesukaannya pada sejarah menghantarkan Buya pada Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago.
“Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia,“ itulah judul disertasinya.
Selama di Chicago, Buya sangat intens melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman—salah satu pemikir neo modernis paling serius dan produktif asal Pakistan. Nurcholish Madjid dan Amien Rais, tak lain menjadi lawan debatnya saat berdiskusi. Ketika itu Amien Rais ketika itu tengah menyelesaikan program doktornya.
Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, selain menjadi pembicara dalam sejumlah seminar.
Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak? Kedua diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984.
Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008, Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
Buya Syafii Maarif bukan lahir dari keluarga kaya raya. Dengan mengabdikan diri pada bidang pendidikan, berhasil mengantarkannya menjadi ulama dan Cendekiawan Indonesia.
Dia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute. Kini dia telah tiada. Namun karya dan pengabdiannya, akan abadi sepanjang masa. Selamat jalan, Buya. Semoga amal ibadahmu diterima sebagai pahala di sisi-Nya, amin.***