BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Tahun 1947, setelah Agresi Militer Belanda I, ada perundingan awal untuk persiapan perundingan damai antara Belanda dan Indonesia.
Dikutip dari ‘Douwes Dekker, Sang Inspirator Revolusi (2017)’ terbitan Tempo, delegasi Belanda datang dari Batavia (Jakarta) ke Yogyakarta. Delegasi ini dipimpin oleh Dr P.J.A Idenburg, anak Gubernur Hindia Belanda tahun 1919-1916, Alexander Willem Frederik Idenburg.
Di Yogyakarta, rombongan ini disambut delegasi Indonesia, yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker.
Menariknya, Alexander Willem Frederik Idenburg pernah membuang Douwes Dekker pada tahun 1913 karena dianggap membahayakan kolonial Belanda.
Saat itu, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangunkusoemo mendirikan partai politik pertama di Indonesia, Indische Partij. Tujuan partai ini juga tegas, menuntut Indonesia merdeka. Akibatnya, tiga pendirinya dihukum buang oleh Alexander Willem Frederik Idenburg.
Dan kemudian P.J.A Idenburg harus berunding dengan seorang Belanda pro Indonesia, Douwes Dekker, yang pernah dibuang ayahnya.
Dalam suatu catatan, Idenburg mencatat bahwa Douwes Dekker memiliki peran sentral bagi revolusi Indonesia. Selain itu, Idenburg juga mencatat bahwa Douwes Dekker adalah seorang Belanda, yang mengaku Jawa, yang anti-Belanda.
“Douwes Dekker menyatakan diri sebagai orang Jawa yang anti-Belanda,” tulis Idenburg.
Sebenarnya, keluarga Douwes Dekker tercatat sebagai keluarga yang selalu membela dan memperjuangkan nasib pribumi.
Sebelum Eugene Douwes Dekker, ada nama Eduard Douwes Dekker. Pada tahun 1859, Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli menulis Max Haveelar, sebuah buku yang menceritakan fenomena kelaparan, penderitaan, serta ketertindasan rakyat pribumi di Hindia Belanda, terutama daerah Lebak, Banten.
Eduard Douwes Dekker sendiri adalah kakak dari Jan Douwes Dekker, kakek Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, sang pendiri Indische Partij. (bpc4)