Oleh: Alaiddin Koto*
bertuahpos.com HARI ini, 92 tahun yang lalu, penduduk nusantara yang diwakili oleh para pemudanya, mendeklarasikan tekad bulat untuk menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Mengakui bertanah air yang satu, tanah Indonesia. Menyepakati berbahasa yang satu, bahasa Indonesia. Itulah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebagai sumpah untuk sama merangkuh dayung menuju pulau cita bernama Indonesia. Sumpah yang kemudiannya menjadi semangat untuk merebut kemerdekaan yang telah dirampas penjajah tiga abad lebih lamanya. Tekad yang akhirnya membuahkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Kini, para pemuda itu, dan pemuda yang mengikutinya setelah sumpah itu dikumandangkan telah menyelesaikan tugasnya. Mereka telah kembali menghadap Sang Khalik. Mereka wariskan kepada kita buah tekad dan buah perjuangannya berupa sebuah bangsa dan Negara, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk dirawat dan dibangun dalam upaya memberikan kesejahteraan seluruh anak-anak bangsa yang mereka tinggalkan sampai hari terakhir nanti.
Kini, kita yang hidup hari ini, adalah para pewaris itu. Pewaris yang menerima amanah dari cucuran keringat dan air mata, dari tetesan darah dan nyawa mereka yang nanti harus dipertanggungjawabkan di hadapan Hakim Yang Maha Adil, apakah amanah itu kita jaga dan rawat, atau kita khianati untuk memperturutkan keserakahan yang tidak habis-habisnya sebagai manusia yang tidak bersyukur dan berterimakasih.
Harus diakui, sebagai bagian dari rasa tanggungjawab menerima amanah dari para pahlawan sepeti disebut di atas, bangsa ini telah pernah beroleh banyak kemajuan dari masa penjajahan sebelumnya. Bangsa yang dulu bodoh dan buta huruf, kini berubah jauh menjadi tidak lagi seperti itu. Berbagai kemajuan di bidang pendidikan, sains dan teknologi, begitu juga ekonomi dan pertanian pernah diraih di era Orde Baru, sehingga negara ini pernah disebut-sebut sebagai salah satu calon “macan Asia” di tahun 1990an. Sayang, memang. Gelar atau harapan itu hilang dan sirna di ujung tahun 1990an, ketika huru hara politik melanda dengan hebatnya, dan Indonesia memasuki Era Reformasi di tahun 1998, sebagai era yang diharap akan membawa perubahan baru mengantarkan Indonesia benar-benar muncul menjadi “macan Asia.” Seluruh rakyat di negeri ini memendam optimis tinggi, hidup lebih baik dari yang sudah-sudah.
Kini, setelah 22 tahun reformasi bergulir, harapan itu bukan semakin dekat, tetapi semakin bertambah jauh. Riang gembira menyambut reformasi dulu, berangsur-angsur pudar dan kini seakan berubah menjadi gundah dan cemas. Huru hara politik, bencana alam, wabah penyakit dan banyak lagi peristiwa yang memilukan seakan tidak pernah mau menjauh dari negeri pusaka ini. Wajah ceria yang dulu menghiasi hampir semua wajah, kini redup diterpa kerisauan, kegalauan dan bahkan kecemasan. Bayangan masa depan yang indah di awal era reformasi, kini dihantui oleh bayangan yang tidak menentu penuh kekhawatiran.
Kini, sangatlah wajar bila muncul pertanyaan besar di setiap anak-anak bangsa, “ada apa dengan negeri ini ?. Apa yang salah di negeri ? Apa sesungguhnya yang menjadi masalah di negeri ini ?
Tidak mudah menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Tapi, bila kita mau merujuk kepada peringatan yang diberikan oleh Yang Menguasai alam semesta, dan sudah barang tentu juga Indonesia, maka ditemukan jawaban bahwa ini adalah azab untuk orang atau bangsa yang tidak bersyukur. Saat ini, untuk kesekian kalinya saya nukilkan dalam tulisan, apa yang pernah dikatakan oleh Prof. Deliar Noer kepada saya ketika asap pekat melanda bumi Riau 23 tahun yang lalu, “ini bukan asap, tetapi azab.. Kamu lihatlah nanti, akan datang azab-azab berikutnya kepada bangsa yang sudah durhaka kepada Tuhan ini.” Beliau tidak mengutip ayat 7 surat Ibrahim, tapi saya ingat sekali akan ayat itu yang artinya, “jika kamu bersyukur, aku akan tambah nikmat ku, tapi jika kamu kufur, azab ku sangatlah pedih.” Saya merasa apa yang kita rasakan hari ini adalah bagian dari azab Tuhan yang pedih itu, sebagai persekot azab-Nya yang lebih pedih lagi di akhirat kelak.
Lalu, kalau begitu, apakah kita sudah termasuk orang kufur yang layak menerima azab itu ? Kalau ya, kekufuran apa yang telah kita lakukan, sehingga memang layak untuk diazab?
Ada baiknya kita rujuk hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, “bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran” Sahabat bertanya, “seperti apa bentuknya menyia-nyiakan amanah itu ya Rasulallah ?” Nabi menjawab, “bila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” Hadis itu berhubungan dengan ayat 58 surat al-Nisa’ yang menyuruh kita untuk menyerahkan amanah kepada orang yang ahli. Selanjutnya, Allah melarang mengkhianati amanah dalam surat al-Anfal ayat 27, “hai orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan rasul-Nya, dan jangan juga kamu khianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu. Padahal kamu mengetahuinya. “
Lalu apa hubungannya dengan kekufuran yang membuat kita layak menerima azab seperti disebut di atas ?
Jawabannya tentu bahwa pemberian Allah berupa kemerdekaan dan bumi persada yang diwarisi dari para pahlawan ini adalah nikmat Allah yang tidak bisa dikira besarnya. Semua itu adalah amanah dari Allah dan juga dari para pahlawan yang harus dirawat, dijaga dan dikembangkan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat yang sejatinya jadi “pemilik” sah dari negeri ini. Kita yang ada sekarang diamanahi untuk mengurus, bukan untuk mengurasnya buat kepentingan pribadi atau kelompok, dan menyerahkan pengurusannya kepada orang-orang yang bukan atas dasar keahliannya (profesional), tetapi atas dasar pertimbangan kepentingan politik, perkawanan primordialistik, suka atau tidak suka. Perilaku seperti itu disebut dalam ayat dan hadis di atas sebagai perilaku kufur kepada nikmat Allah. Orang kufur layak mendapat azab, dan bila yang kufur itu adalah pemimpin, maka hukuman kepadanya akan menimpa rakyat yang dipimpinnya juga.
Bila kita mau jujur, perilaku seperti itu sudah lama dipraktekkan di negeri ini, sehingga menimbulkan gelombang korupsi, kolusi, nepotism yang sudah melampaui logika akal sehat. Hal-hal seperti inilah yang menjadi tuntutan lahirnya reformasi 22 tahun yang lalu itu, tetapi hal itu pula kini yang semakin menggejala di era reformasi, sehingga tidak sedikit rakyat yang mulai dihinggapi rasa putus asa menatap masa depannya, walau mereka sadar bahwa putus asa itu juga bagian dari kekufuran.
Tapi, apakah bentuk pengkhianatan yang lebih besar dan menjadi penyebab terjadinya pengkhianatan-pengkhianatan berikutnya atau yang menjadi substansi masalah di negeri ini ?
Menurut saya, pengkhianatan kepada Pancasila yang sudah berlangsung sejak era orda lama dulu adalah induk dari semua pengkhianatan itu. Pancasila seakan dijadikan mainan dan olok-olok, sehingga diputar-putar menurut selera dan kepentingan kita sendiri-sendiri
Oleh sebab itu, bila bangsa dan negara ini benar-benar mau kembali baik, hentikan menarik-narik Pancasila untuk pembenar apa yang ingin kita lakukan. Biarkanlah Pancasila seperti apa adanya yang disepakati dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan bangunlah negara ini dengan roh yang ada dalam apa yang disebut sebagai “kearifan Nusantara itu,”
Semoga semangat Sumpah Pemuda tetap menyemangati nurani kita merawat dan mempertahankan NKRI.
Pekanbaru, 28 Oktober 2020.
*Penulis adalah Guru Besar di UIN Suska Riau. Saat ini juga aktif sebagai Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Riau dan Ketua Perti Riau.