BERTUAHPOS.COM — Perusahaan “kedai kopi” Starbucks memang sangat populer di Tanah Air. Perusahaan asing ini begitu banyak digandrungi walau hanya untuk menyeruput kopi. Bisnisnya gemilang di tanah air karena mengambil segmentasi kebiasaan orang Indonesia yang suka ngopi dan nongkrong.
Pada tahun 2008, Starbucks perhah hampir bangkrut. Krisis pada tahun itu membuat perlambatan ekonomi yang cukup signifikan, sehingga membuat Starbucks juga hampir kehilangan pelanggan. Orang-orang lebih memilih ngopi di tempat biasa dengan harga yang lebih murah. Karena memang ngopi di Starbucks cukup menguras dompet.
Mengutip infografis dari Instagram @finfolkchanner, Starbucks terpaksa menutup 600 gerai mereka. Pada 30 Maret 2008, profit kedai kopi ini turun hingga 28%. Kondisi tersebut kemudian terus berlanjut hingga 2009. Starbucks kembali menutup sebanyak 300 gerainya dan mem-PHK 6.700 karyawan.
Pada tahun itu, Howerd Schultz kembali memimpin perusahaan “kedai kopi” ini. Padahal dia sudah 8 tahun vakum sebagai CEO Starbucks. Namun dia berhasil menemukan formulasi ekspansi yang sangat cepat, membuat Starbucks penuh dengan birokrasi daripada kepedulian, terutama terhadap pera pelanggannya.
“Perusahaan mengalahkan kondisi ekonomi dan harga susu yang melambung. Perusahaan ini kemudian memanfaatkan kondisi itu untuk menaikkan harga,” menurut Schultz.
Dia punya pandangan berbeda. Dia mengirim surat kepada karyawannya pada hari dimana dia kembali bekerja sebagai CEO. Perusahaan harus mengembalikan fokusnya dari birokrasi kembali ke pelanggan, ini merupakan salah satu cara untuk “Menyalakan kembali ikatan emosional dengan pelanggan,” tulisnya dalam surat itu.
Pada Meret 2008, “My Starbucks Idea” diluncurkan. Pelanggan dilibatkan dalam ide untuk pengembangan perusahaan. Tujuannya bagaimanapun pelanggan adalah aset dan mereka harus terlibat, karena mereka yang akan menikmati setiap produk di perusahaan ini.
Schultz membebaskan kepada customer-nya untuk memberikan apapun dalam segala hal. Masukan terhadap produk, service, layout store, iklan, tanggung jawab sosial bahkan sampai musik di dalam toko. Lebih dari 93 ribu ide diberikan oleh 1,3 juta pengguna sosial media. Ternyata Starbucks juga memanfaatkan teknologi untuk bisa bangkit kembali.
Setelah kondisi krisis itu, perusahaan “kedai kopi” ini fokus dengan membangun dan mengembangkan komunitas. Belajar dari pengalaman ini, sudah jelas bahwa membangun bisnis tidak memulu soal keuntungan. Starbucks telah membuktikan bahwa keberhasilan pencitraan memberi efek ke pendapatan perusahaan. Pada 2009 perusahaan ini diterpa isu pendanaan untuk Israel, namun sosial media kembali berhasil meredam isu tersebut. (bpc3)