BERTUAHPOS.COM — Kondisi pasar modal yang masih berfluktuasi menjadi waktu terbaik bagi investor reksa dana untuk melakukan evaluasi terhadap portofolio reksa dana masing-masing.
Penurunan harga unit reksa dana saham mungkin sudah mencapai 15%-20% sejak awal tahun. Tetapi, bagi investor yang memiliki profil risiko agresif, umumnya tidak terlalu panik, karena mereka berpikir untuk berinvestasi jangka panjang.
Investor tipe agresif yang berani mentolerir risiko ini, bahkan berani mengalokasikan dana investasi baru untuk membeli reksa dana saham pada harga yang rendah. Dengan perencanaan mendapatkan potensi keuntungan dalam jangka panjang, ketika kondisi pasar saham kembali membaik.
Sebaliknya, investor yang tidak siap dan merasa panik saat melihat portofolio reksa dana sahamnya turun, bisa jadi dia tidak jujur ketika mengisi form profil risiko.
Sebetulnya dia bukan tipe investor agresif, melainkan konservatif atau moderat. Investor nonagresif biasanya akan menghentikan investasi berkalanya di reksa dana saham, saat pasar bergejolak atau ketika modal investasinya turun antara 15-20%. Ada juga yang melakukan cutloss karena khawatir kerugian bertambah banyak.
Apakah tindakan di atas salah? Tentu tidak. Mengutip Wakil Ketua I Perkumpulan Wakil Manajer Investasi Indonesia, Rudiyanto menyampaikan bahwa, semua orang bisa memutuskan apa yang terbaik dan nyaman
bagi dirinya sendiri.
Jika dia sudah merasakan kegalauan menyaksikan aset investasi portofolio yang turun di reksa dana saham, maka berikutnya dia tidak boleh lagi berinvestasi di produk jenis ini. Kalaupun tetap menginkan hasil investasi yang tinggi dari reksa dana saham, komposisinya tidak boleh terlalu banyak.
Investor dengan tipe konservatif dan moderat sebaiknya memilih jenis reksa dana yang lebih konservatif seperti pasar uang, pendapatan tetap dan terproteksi dengan tetap memperhatikan risikonya. Karena semua jenis reksa dana yang merupakan produk investasi, mengandung risiko.
Investor yang siap menanggung risiko reksa dana sahampun, mungkin ada yang memutuskan cutloss. Mungkin karena toleransi penurunan dana yang dia tetapkan sudah melampaui target. Walaupun dia melakukannya dengan kesadaran, bukan karena panik.
Baik investor yang agresif, moderat dan konvensional, bisa melakukan diversifikasi alokasi investasi di saat kondisi reksa dana saham berfluktuasi seperti saat ini.
Diversifikasi dilakukan dengan mengalokasikan dana dalam komposisi yang sesuai kebutuhan masing-masing, contohnya ke reksa dana pendapatan tetap.
Sebagai gambaran, kinerja tahunan antara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan reksa dana saham dan rata-rata reksa dana pendapatan tetap (RDPT) selama 5 tahun terakhir berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Tim BEI, sebagai berikut:
Tahun 2015 IHSG -12.13% vs RDPT +3%. Tahun 2016 IHSG +15.32% vs RDPT +8.02%. Tahun 2017 IHSG +19.99% vs RDPT +10.72%. Tahun 2018 IHSG -2.54% vs RDPT -2.20%. Tahun 2019 IHSG +1.70% vs RDPT +9%. Secara Year to Date hingga 17 Maret 2020, IHSG -29.25% vs RDPT -0.68%
Apakah diversifikasi ke reksa dana pendapatan tetap bisa menurunkan risiko? Tentu bisa. Sebagai contoh di tahun 2015 ketika IHSG turun -12.13% dan di tahun 2019 di mana IHSG hanya naik 1.7%, reksa dana pendapatan membukukan kinerja positif yang cukup signifikan.
Namun pernah juga terjadi, di mana IHSG dan reksa dana pendapatan tetap sama-sama turun, seperti di tahun 2018. Per 17 Maret 2020, reksadana pendapatan tetap juga turun, meskipun penurunannya jauh lebih rendah dibandingkan IHSG.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagai instrumen diversifikasi, reksa dana pendapatan tetap masih belum “sempurna” karena dapat turun bersamaan dengan turunnya IHSG.
Dalam melakukan aset alokasi untuk menyeimbangkan risiko di reksa dana saham, investor juga bisa mempertimbangkan reksa dana pendapatan tetap dalam USD.
Berapa bobot alokasi yang ideal? Menurut Rudiyanto dalam blog-nya Berbagi tentang Investasi dan Keuangan, tidak ada jawaban yang pasti karena profil risiko setiap investor berbeda. Untuk itu, bobot alokasi yang ideal sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko investor. ***
Artikel ini ditulis oleh Tim Bursa Efek Indonesia (BEI)