Dalam Fiqh Empat Imam Mazhab, salah seorang fuqoha adalah Imam Hanafi alias Imam Abu Hanifah. Selain terkenal dalam ilmu fiqh, ia secara khusus meletakkan pakem-pakem ilmu ekonomi syariah
BERTUAHPOS.COM – Nilai-nilai ekonomi syariah yang Imam Hanafi kembangkan, sebenarnya juga tak jauh-jauh dari kebiasaan dan tradisi imam yang notabene adalah seorang pedagang, lintas kota dan lintas negara.
Lahir di daerah Kufah Iraq, pada tahun 80H/699M. Bernama lengkap Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zauthi al Kufi. Semenjak kecil beliau terkenal sewbagai pribadi yang baik, berakhlak mulia, dan menjauhi perbuatan dosa.
Pribadi mulia yang ia dapatkan ini bukan terjadi begitu saja, namun terbentuk karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Terutama ilmu fiqh. Ia belajar dari Hammad Ibn Abi sulaeman yang merupakan ulama Kuffah pada permulaan abad 2 Hijriah. Ia juga belajar pada ulama tabi’in Atha Ibn Abu Rabah dan Nafi’ Maula ibn Umar. Dan sebagian besar guru Hanafi ini berasal dari madrasah al Ra’yi.
Sumbangsih ide, dan gagasan banyak dari gurunya ini lah yang kemudian banyak pula pola fikir keilmuannya dikemudian hari. Namun bukan Hanafi namanya kalau ia habis berguru pelajaran ia anggap selesai. Justru sebagai fuqoha, ia bahkan selalu kembali berguru. Melawat Hijaz untuk mendalami ilmu fiqh dan hadist. Bahkan pernah menetap di Mekkah hingga 6 tahun, ketika ia mendapat tekanan politik dari Yazid Ibn Umar Ibn Humairah, saat menjabat Khalifah bani Ummayyah.
Ia kemudian diangkat sebagai Kepala Madrasah menggantikan Hammad. Di masa inilah ia banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang kemudian kini dikenal sebagai mazhab Hanafi.
Adapaun kitab yang dinisbatkan pada beliau adalah Fiqh al Akbar dan al ‘Alim Wal a Muta’alim. Isinya merupakan kitab fiqh secara menyeluruh. Hingga tidak saja berisi tentang fiqh, tapi juga mengulas soal aqidah, akhlak, dan etika Islam.
Sebagai fuqoha yang lahir pada zaman Bani Umayyah, di bawah khalifah Abdul malik Ibn Marwan, dan sangat faham kondisi pada masa Khalifah Umar Ibn Aziz, ia sangat faham juga kondisi lemah dan buruknya kekahalifahan Bani Umayyah. Hidup hingga 52 tahun pada masa Bani Ummayyah, dan menjadi ‘tahanan perang’ ketika dinasti Abbassiyah berkuasa. Meskipun ia tidak condong keduanya, karena ia lebih bersikap berpihak pada ahlul bait, khalifah Ali.
Namun demikian karena kondisi Kufah Iraq saat itu menjadi pusat peradaban Islam, menjadikan Kufah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban. Maka kelihaian Imam hanafi pun terasah sebagai ahlli ra’yi. Terlebih lagi selain sebagai kepala madrasah, Hanafi juga pedagang yang ulung dan ulet di Kufah. Sehingga pandangannya tentang ekonomi syariah sangat menegedepankan sistem syar’i .
Memang transaksi jual beli saat itu memang sudah populer dengan sistem salam, menjual barang yang akan dikirim kemdian, sedang pembayaran dilakukan tumai pada waktu yang telah disepakati. Namun dalam penerapannya di lapangan, Imam Hanafi justru menangkap peluang pada keabsahan akad salam tersebut. Karena kalau tidak jelas, justru di situ bisa enjadi akar masalah.
Di sinilah ia kemudian memerinci lebih detil soal apa-apa saja yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad. Semuanya harus tercantum. Bisa soal jenis komoditi yang diperjual belikan, mutu barang, kuantitas barang, serta waktu ndan tempat pendistribusian barang yang dimaksud. Beliau juga mencantumkan dalam mkesepakatan awal kalau komoditi yang dimaksud harus tersedia di pasar.
Artinya selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman. Sehingga, anta ataantara kedua pihak yang berjual beli, sangat mengetahui bahwa pengiriman yang dimaksud merupakan sesuatu yang pasti dan mungkin sekali dilakukan. Intinya, ia serta merta menghapuskan ambiguitas dalam setiap transaksi jual beli. Demi mengharapkan transaksi yang benar-benar adil.
Kepeduliannya ini juga tidak lepas dari kesewenang-wenangan terhadap masyarakat yang awam. Sebagai fuqoha ia keras terhadap wajibnya zakat perhiasan. Namun ia terkenal lembut untuk membebaskan pemilik harta yang terliulit utang tanpa bisa menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Dan ia juga tida rela jika ada pembagian hasil panen (muzara’ah) dalam kasus tanah yang kering karena tidak membuahkan hasil. Ini dilakukannya karena peduli terhadap penggarap tanah yang rata-rata masyarakat awam dan lemah dari sisi ekonomi.
(Tulisan ini disadur dari berbagai sumber buku dan artikel yang berkaitan dengan ekonomi syariah)
(ong)