BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Ditengah Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (Hantaru) pada 8 November 2019, tata ruang Provinsi Riau masih dikuasai oleh korporasi HTI, sawit, cukong dan tambang. Para korporasi itu menangguk keuntungan sebesar-besarnya dari merusak hutan, tanah, dan lingkungan hidup di Riau. Termasuk menghancurkan kearifan lokal masyarakat adat yang bersumber pada ruang ekologis.
Â
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2013 yang ditandatanganinya pada 25 November 2013 lalu, memutuskan 8 November sebagai Hari Tata Ruang Nasional. Keputusan menetapkan Hari Tata Ruang Nasional pada setiap 8 November juga mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengamanatkan pentingnya keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan, serta peran aktif masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang di masyarakat.
Â
Pola ruang dalam Peraturan Daerah (Perda) No 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Riau 2018 -2038 dari 8.908.254,14 ha luas Riau, diatur seluas 7.967.083,51 Ha atau setara 89 persen dari luas Riau untuk budidaya dan kawasan lindung hanya seluas 941.170,63 ha atau setara dengan 11 persen luas Riau.
Â
Dalam pola ruang budidaya telah dikuasai oleh korporasi sebanyak 78 persen atau seluas 6.238.868,85 ha untuk hutan produksi, kawasan industri, tambang dan perkebunan besar. Hanya 1.728.214,66 ha atau 22 persen yang diperuntukkan untuk hutan adat, hutan rakyat, ruang terbuka hijau, pariwisata, perkebunan rakyat, kawasan pertanian dan pemukiman.
Â
“Berlakunya perda ini tentu menguntungkan para korporasi dan cukong plus mereka mendapat legalitas ruang yang kian memberi mereka keleluasaan untuk melakukan greenwashing dan mengusir secara paksa masyarakat adat dan tempatan yang berada di dalam ruang mereka, yang sesungguhnya ruang itu milik masyarakat adat,†kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Â
Dampak yang paling mengerikan, masyarakat Riau akan menerima bencana yang dibuat oleh para korporasi dan cukong berupa banjir di musim hujan, polusi asap dari kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau.
Â
Banjir terus melanda Riau sejak 2008 hingga kini. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Riau dan dipadu dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2008 – 2019, banjir telah melanda Riau dengan frekuensi mencapai 107 kali dan telah merenggut nyawa setidaknya 58 warga Riau dan lebih dari 1,5 juta orang terdampak hingga mengungsi. Selain itu banjir juga menyebabkan lebih 115.493 rumah terendam dan rusak.
Â
Banjir juga menyebabkan tanah longsor dan berdampak pada akses transportasi warga yang tertutup serta rumah-rumah yang terkena banjir dan longsor menjadi rusak. Banjir juga
mengakibatkan rusaknya ladang dan perkebunan masyarakat yang akibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat terdampak.
Â
Selain banjir, karhutla juga menjadi bencana yang rutin muncul di kala kemarau. Data dari sipongi.menlhk.go.id menyatakan sejak 2015 hingga 2019 luas karhutla di Riau mencapai 395.302,56 ha atau setara 6 kali luas Kota Pekanbaru. Karhutla juga menelan korban jiwa, ada 9 orang yang meninggal diduga meninggal terpapar asap karhutla, lebih dari 480 ribu orang menderita ISPA, asma bahkan iritasi dan menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp50 triliun.
Â
Untuk menghentikan monopoli korporasi dan cukong atas tata ruang Provinsi Riau, Jikalahari mendesak Gubernur Riau dan DPRD Provinsi Riau periode 2019 – 2024 untuk melakukan revisi Perda No 10 tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018 – 2038 berdasarkan putusan Mahkamah Agung no 63.P/HUM/2019 terkait Judicial Review Perda no 10 Tahun 2018 yang diajukan Jikalahari Bersama Walhi.
Â
“Putusan MA ini bentuk koreksi atas kekeliruan yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Riau periode 2014–2019 dan Gubernur Riau periode Asryadjuliandi Rachman. Karena mereka menutup ruang partisipasi publik untuk terlibat dalam penyusunan tata ruang dan wilayah Provinsi Riau,†ungkap Made. (rilis)