BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – RT RW Riau tidak ada kaitannya dengan bencana Asap di Riau. LSM Asing diminta jangan bikin gaduh. Mahkamah Agung jangan sembarangan menerima gugatan yang merugikan rakyat di daerah.
Demikian disampaikan Presiden Majelis Rakyat Riau (MRR), Datuk Panglimo Dalam, Suhardiman Amby kepada wartawan, Kemarin Kamis 17 Oktober 2019 siang.
Menurut Suhardiman, RT RW Riau jangan dijadikan kambing hitam atas bencana kebakaran hutan dan lahan di Riau oleh Jikalahari dan Walhi.
“Pandangan yang sangat keliru dan tidak berdasar, sebaikya kajiannya dibuat secara akademis dan komprehensif oleh para pakar, tunjukkan satu titik api kepada rakyat yang disebabkan oleh keberadaan RTRW Riau, semua titik api berada pada, HGU, IUPHTI, Kawasan Hutan, Kawasan Lindung gambut, yang di rambah para Perkebunan Ilegalâ€, tutur Suhardiman.
Lebih lanjut, pria yang akrab dipanggil Datuk mengatakan bahwa bencana asap dan kebakaran lahan di Riau merupakan kegagalan Negara terutama Kementrian LHK dalam menjaga kawasan hutan merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepadanya.
“Dari 5,4 juta kawasan Hutan di Riau tegakan hutan hanya sekitar 1 juta hektar, jika akasia 1,2 juta hektar dianggap sebagai hutan maka tegakan hutan hanya berkisar 2,2 juta hektar maka berarti 3,2 juta hektar sudah dirambah dan beralih fungsi menjadi perkebunan Ilegalâ€, tambah Suhardiman.
Masih menurut Suhardiman bahwa prambahan hutan merupakan pembiayaran yang cukup lama oleh aparatur negara terutama Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK), namun justru mengapa pemerhati lingkungan tidak tidak pernah menggugat kepengadilan.
“Kalau berani seharusnya NGO gugat menteri kehutanan, jangan hanya karena kalau kepentingan sponsor NGO terganggu yang dipersalahkan daerah, itu sama saja membangunkan harimau tidurâ€, tegas Datuk.
Presiden Majelis Rakyat Riau, yang juga mantan anggota DPRD Riau ini menginformasikan bahwa NGO menginginkan 30% menjadi kawasan Restorasi Gambut di Riau dari 9,4 juta Ha daratan Riau merupakan hal yang keliru.
“Bersama ini perlu kami luruskan bahwa dari 9,4 juta hektar daratan Riau, 5,4 Juta hektar adalah kawasan hutan walaupun sebagian besar eksistingya sudah berubah fungsi menjadi perkebunan illegal. Perkebunan legal yang ada HGU dan IUP 900 ribu hektar maka jumlahnya sudah menjadi 6,3 juta hektar. Maka jika ketentuan PP 57 dan PP 71 harus 30 persen daratan Riau menjadi kawasan gambut, maka seluruh daratan yang tersisa akan menjadi kawasan gambut. Berarti tidak ada lagi wilayah kewenangan propinsi Riau alias sama dengan Propinsi Riau sudah tidak ada,†jelas Datuk.
Majelis Rakyat Riau Tawarkan Solusi
Berikut kutipan wawancara dengan Presiden Majelis Rakyat Riau :
Wartawan: Jika Mahkamah Agung memenangkan gugatan NGO apa pendapat anda ?
Suhardiman: kalau memang benar putusan mahkamah agung memenangkan gugatan itu mukin lebih baik Riau lakukan jejak pendapat atau Referendum meminta pendapat rakyat riau terkait soal itu. Terkait outline yang ada pada RT RW harus dipahami oleh semua pihak itu bukan pelepasan kawasan, itu prencanaan pola ruang kedepan bisa dilepas atau tidak tetap merupakan kewenangan kementerian kehutanan. Tidak ada yang aturan yang dilanggar, NGO jangan memberikan informasi yang menyesatkan.
Wartawan: Saat itu anda merupakan anggota Dewan ikut membahas RTRW, apakah izin perhutanan sosial juga dibahas oleh DPRD Riau?
Suhardiman: Terkait izin perhutanan sosial yang akan diterbitkan di Riau memang kami yang membahas, jawabannya mengapa harus dibahas di DPRD karena memang fungsi DPRD juga sudah berubah dalam UU 23 sebagai unsur penyelengara pemerintahan, DPRD dan Gubernur mesti tau Rakyat yang mana yang akan diberi izin perhutanan sosial oleh Menhut, betul apa tidak Rakyat Riau? Jika mahkammah agung menjegal kewenangan DPRD yang diatur dalam UU 23, maka jangan disalahkan jika suatu saat di Riau terjadi kegaduhan yang berujung degan komplik berkepanjangan, korbannya dapat dipastikan adalah rakyat yang tak berdosa.
Wartawan: Apa yang anda khawatirkan jika penerima PS dan TORA lepas dari pengawasan DPRD Riau?
Suhardiman: Untuk diketahui dari 30 izin perhutanan sosial yang diterbitkan sebelum perda 10 setahun kami tidak satupun yang berjalan patut kami duga rakyat Riau hanya di catut namanya dan dikangkangi haknya, pengawasan DPRD riau harus mampu memastikan penerima PS dan TORA adalah betul betul masyarakat Riau. Tidak lagi akal akalan Jakarta yang selama 74 tahun semenjak Indonesia merdeka 70 persen daratan Prov Riau dikuasai asing dan aseng. Itulah hasinya kewenangan sentralistik dan otoriter , Riau hari ini sudah porak poranda, tinggal menggung akibatnya, jika musim hujan kebanjiran, jika musim kemarau menghirup asap.
Wartawan: Apa harapan anda selaku Tokoh Riau terhadap Mahkammah Agung?
Suhardiman: Mahkammah agung jangan terberdaya oleh kepentingan NGO dengan mengorbankan Provinsi Riau. tujuk kan kepada kami satu jengkal tanah pada RT RW Riau yang mengambil alih kewenangan kementereian kehutanan dalam pelepasan kawasan. Terkait KLHS yang dipersoalkan Jikalahari dan Walhi itu merupakan ranah perencanaan yang sudah dirancang oleh Bapeda Riau sejak lama, kentuan dan aturan memperbolehkan untuk RT RW yang sedang dibahas maka KLHS dapat disempurnakan 2 tahun setelah perda disyahkan, Riau sudah hampir 30 tahun tak ada kepastian RT RW yang disyaratkan oleh undang-undang untuk merancang dan perencanaan pembangunan menuju kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian kalau Perda 10 dibatalkan maka Riau dipastikan tidak bisa membangun apapun tanpa pola ruang, semua perizinan tidak bisa diterbitkan , investasi tidak bisa masuk. Efeknya,ekonomi tidak bisa bergerak, penganguran akan bertambah, kemiskinan akan bertambah maka kejahatan akan semakin meningkat yang dapat menganggu stabilitas keamanan dan politik. Kami tidak ingin rusuh tapi kalau keadaan yang mengingikan maka apa boleh buat, tunggu saja itu adalah bom waktu yang pada saatnya pasti akan meledak. Solusinya Mahkamah Agung harus menolak gugatan LSM Asing yang ingin membuat kegaduhan di Riau.”
(rls)