Pakar Perkotaan ‘Berang’ Belum Ada Sentuhan Melayu di Bandara SSK II

Share

BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Seorang pakar perkotaan, Mardianto Manan, mengkritik keras Bandar Udara (Bandara) Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru. Minimnya sentuhan budaya Melayu di bandara internasional tersebut menjadi penyebabnya.

Kepada bertuahpos.com, Jumat (5/1/2018), Mardianto menyampaikan kekesalannya karena pihak pengembang Bandara SSK II terutama Angkasa Pura yang ditudingnya tidak membesarkan Riau (Melayu).

“Belum ada sentuhan dia (Angkasa Pura, red) di Bandara SSK II untuk membesarkan Riau. Dia membesar di Riau tapi tidak mengakar di Riau,” kesalnya.

Pria asli Pangean, Kuantan Singingi tersebut juga menuturkan seharusnya Angkasa Pura mengunakan bahasa, pepatah maupun pribahasa Melayu di setiap ornamen yang ada di Bandara SSK II.

“Kita di Pekanbaru, tapi gak ada satupun bahasa Melayu. Jangankan Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia saja gak ada,” tegasnya.

Menurut pria yang aktif mengajar di Universitas Islam Riau tersebut, banyak peribahasa ataupun pepatah Melayu yang bisa digunakan untuk ornamen di Bandara SSK II.

“Banyak peribahasa Melayu yang bisa digunakan. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, buat disitu (Bandara SSK II). Tentang lingkungan banyak juga pepatah atau pantun dari tokoh Melayu, contohnya Almarhum Tenas Efendy. Banyak sebenarnya yang bisa dipajang daripada memajang kata-kata orang luar negeri,” tuturnya.

Baca: Bandara SSK II Belum Mencerminkan Daerah Melayu?

“Benar SSK II Airport Internasional, tapi kenapa kita disini selalu menginternasionalkan, apa mereka disana mengindonesiakan atau memelayukan juga? Gak kan? Seolah-olah kasta mereka lebih tinggi dari awak orang Melayu,” tambahnya.

Mardianto juga memesankan, sudah saatnya Riau berkaca diri jika ingin menjadikan Riau Home of Land Melayu.

“Saatnya membersihkan itu, gunakanlah bahasa Melayu atau pepatah Melayu. Jangan seperti sekarang yang banyak menggunakan peribahasa luar negeri dengan Bahasa Inggris. Contohlah Bandara di Yogyakarta, Lombok yang mana kalau kita tiba disana kita merasakan daerah tersebut. Bukan seperti disini yang kita tiba tapi tidak merasa di daerah Melayu,” ujar Mardianto. (bpc9)