Wawancara WWF Riau: Konflik Harimau dan Manusia Bermuara dengan Berebut Lahan

Share

BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU – Yusri Effendi menjadi korban selanjutnya keganasan harimau Sumatera di kawasan Pelangiran, Inhil, Riau. Yusri akhirnya meninggal dunia setelah pundaknya diterkam oleh binatang buas itu. Sebelum ini Jumiati juga bernasib sama dengan Yusri. Karena serangan harimau itu dia meninggal.

Masalah ini kemudian menjadi sorotan. Apalagi pasca kasus harimau membunuh Jumiati, tim BKSDA dua bulan nge-camp di kawasan itu untuk memantau pergerakan harimau tersebut. Memang diketahui bahwa harimau yang diberi nama Bonita ini sering menampakkan diri dan berkeliaran di pemukiman warga. Anehnya, BKSDA Riau menyimpulkan bahwa Bonita punya sikap menyimpang dari kebanyakan harimau lainnya.

Terhadap kasus ini bertuahpos.com melakukan wawancara khusus dengan Staf Komunikasi WWF Riau, Syamsidar. Secara umum dia berkesimpulan bahwa kasus konflik antara harimau dan manusia bermuara dari masalah perbatasan tempat tinggal. Peralihan kawasan hutan menjadi perkebunan membuat kawanan harimau kehilangan habitat sehingga memilih hidup di kebun masyarakat dan menyerang hewan ternak.

Baca Juga: Harimau yang Terkam Yusri Punya Perilaku Menyimpang

Bagaimana pandangam WWF Riau terhadap kasus yang menimpa Yusri dan Jumiati di Pelangiran itu. Sejauh mana konflik antara harimau dan manusia bisa diatasi? Berikut petikan hasil wawancara bertuahpos.com Syamsidar:

BPC: Menurut Anda, apa yang jadi pemicu utama terjadinya konflik antara harimau dan manusia?

WWF: Dari pemantauan yang kami lakukan selama ini memang kondisi habitat harimau itu 75 persen berada di luar kawasan konservasi. Artinya memang dia berada di kawasan HTI, kebun sawit atau hanya menumpang hidup pada hutan-hutan tersisa. Kalau kita lihat dari lokasi kejadian (Yusri dan Sumiati) memang lokasinya di kebun. Dulu kawasan ini memang lanscap hutan dan itu habitat alami dari satwa ini.

Pengubahan fungsi kawasan itu salah satu faktor utama hilangnya habitat harimau kemudian terkotak-kotak. Artinya tidak utuh semuanya hutan. Paling beberapa kilo atau beberapa ratus meter sudah ada pemukiman warga.

Dalam arti kata hutan itu sudah tidak tersambung satu dengan lainnya. Maka jangan heran juga jika dia ingin nyeberang ke hutan lain harus melewati pemukiman warga. Itu mengapa harimau Sumatera itu cenderung sering terlihat oleh manusia.

BPC: Bagaimana pandangan Anda, terhadap kasus Bonita yang berperilaku menyimpang seperti yang dikemukakan oleh BKSDA Riau, bahwa harimau ini punya perilaku berbeda dari kebanyakan harimau lainnya?

WWF: Untuk sikap seperti ini, memang sebaiknya perlu dilakukan kajian atau penelitian secara serius. Artinya untuk menemukan jawaban itu harus dicari faktor apa yang menyebabkan dia seperti itu (abnormal).

Menurut saya masalah ini menjadi menarik untuk mencari jawabannya perlu dimulai dari kasus konflik antara harimau dan manusia. Soal harimau yang masuk ke pemikiman warga memang sudah dilaporkan sejak dua tahun belakangan ini.

Beberapa pekerja kebun, masyarakat sering melihat keberadaan harimau bahkan di sekitar pemukiman warga. Tapi dalam pengalaman saya, selama harimau itu tidak terganggu atau tidak merasa dalam situasi ancaman, memang dia tidak akan melakukan penyerangan.

Nah, kenapa harimau itu tidak menghindar, menurut saya ini menarik untuk dipelajari dan didalami lebih jauh oleh BKSDA Riau. Terutama terhadap stakeholder yang berkaitan dengan konservasi, bahwa hal semacam ini, atau perilaku harimau seperti ini perlu untuk dikaji. Memang seharunya, sifat alamiah harimau itu kalau bertemu manusia dia menghindar.

BPC: Berapa individu harimau tersisa di Pulau Sumatera?

WWF: sebenarnya data resmi yang dipakai oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup itu, masih data sekitar tahun 1998-an, total seluruhnya di Indonesia ada sekitar 400 ekor harimau Sumatera. Berarti dari Aceh sampai Lampung lebih kurang segitu jumlahnya.

Karena memang untuk jumlah harimau ini belum ada data yang komplit. Untuk menyampaikan secara jelas berapa jumlah populasi harimau itu. Namun sekitar tahun 2010-an melihat dari tren kematian harimau, apakah karena diburu atau konflik, organisasi yang konsen terhadap lingkungan mengeluarkan estimasi bawa jumlah populasi harimau Sumatera itu sekitar 300 di Sumatera.

BPC: Bagaimana dengan jumkah konflik antara harimau dan manusia yang terjadi di Riau?

WWF: Forum Harimau Kita juga pernah mengeluarkan laporannya selama tiga tahun terakhir terdapat 87 kasus konflik harimau dengan manusia. Kasus terbanyak terjadi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu 41 kasus.

Selain penanganan konflik, Forum Harimau Kita juga memiliki catatan, dalam kurun waktu tiga terakhir itu juga telah ditempuh jarak patroli kawasan sejauh 12.038 km persegi. Dari patroli itu, dimusnahkan sebanyak 810 jerat. Kawasan Rimbang Baling, Riau, tercatat paling banyak ditemukan jerat, yaitu 129 buah.

Berdasarkan data WWF 2010-2017 di Riau, hingga pertengahan 2017, ada dua kasus harimau sumatera mati akibat perburuan. Jumlah itu sama seperti 2016, namun menurun dibandingkan 2015, sebagai tahun tertinggi kematian harimau sumatera sebanyak empat individu.

Direktur Kebijakan, Keberlanjutan, dan Transformasi WWF Indonesia Aditya Bayunanda juga menjelaskan bahwa beberapa tahun lalu populasinya mencapai 400 sekarang malah di bawah itu, 371 individu.

BPC: Karena sudah dianggap begitu meresahkan masyarakat, kemudian ada usulan sebaiknya harimau itu dibunuh saja, bagaimana pandangan WWF terhadap ini?

WWF: Memang untuk mengambil suatu tindakan terhadap satwa liar ada peraturan yang berlaku. Kami sangat yakin dalam hal ini BKSDA Riau sebagai lembaga yang lebih punya kewenangan terhadap penanganan masalah ini, tentu menjalankan tugas berdasar aturan tersebut.

Kami sendiri, dalam masalah ini jika mengaju pada PP Nomor 07 Tahun 1999 tentang Pengawasan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar itu, memang disebutkan kalau sudah tidak bisa ditangani lagi dan Satwa itu sudah sangat meresahkan masyarakat bisa dan boleh diambil tindakan. Asal beberapa tahapan awal terhadap penanganan sudah dilakukan oleh BKSDA.

Harimau yang sudah berhasil ditangkap atau diamankan petugas itu harus dilakukan rehabilitasi. Dan BKSDA dalam hal ini sudah membentuk tim terpadu untuk kasus yang di Pelangiran. Kami juga dilibatkan. (bpc3)Â