Islampedia

Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Transaksi Top Up?

Share

BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Bagaimana pandangan Islam mengenai transaksi top up? Perkembangan teknologi saat ini membawa kita tak hanya bisa melakukan transaksi via daring saat menggunakan jasa transportasi online. Belanja harian pun, juga sudah bisa dilakukan dengan top up.

Kalau kita merujuk pada dokumen syarat dan ketentuan salah satu jasa transportasi daring, sebagaimana tertera dalam lamannya, dapat dijelaskan bahwa pihak yang bertransaksi dalam fitur top up adalah pelanggan dan perusahaan jasa transportasi daring.

Pelanggan mendeposit sejumlah dananya untuk membeli atau mendapatkan jasa mengantarkannya kemudian. Selanjutnya, perusahaan jasa transportasi daring memberikan diskon tertentu kepada pelanggan sebagai pengguna top up.

Pelanggan tersebut tidak memiliki rekening sebagaimana rekening giro di bank, tetapi mirip dengan deposit di uang elektronik. Hal ini hampir sama dengan perusahaan penyedia layanan top up lainnya.

Dalam sebuah artikel tanya jawab yang ditayangkan Republika.co.id, dikutip pada Selasa, 26 Januari 2021, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dr Oni Syahroni Ma menjelaskan, berdasarkan gambaran singkat tersebut, maka bisa diidentifikasi beberapa skema akadnya.

Pertama, kesepakatan antara pengguna dengan perusahaan [transportasi misalnya] masuk dalam kategori jual beli jasa. Bedanya, perusahaan jasa transportasi daring menjual jasa mengantarkan melalui ojek secara online.

Transaksi terjadi antara perusahaan jasa transportasi daring dengan pelanggan, sedangkan driver atau ojek hanya seperti karyawan perusahaan.

“Dengan demikian, substansinya bukan utang piutang maupun pinjaman, tetapi jual beli jasa [mengantarkan],” dia menjelaskan.

Kedua, dalam transaksi menggunakan saldo atau deposit, upah dibayar tunai, sedangkan jasa dibayar tidak tunai dengan diskon. Maksudnya, deposit costumer [sebagai upah] dibayar tunai dan jasa yang dibeli diserahkan secara tidak tunai sesuai permintaan pengguna. Atas transaksi tersebut, costumer mendapatkan harga lebih murah dari harga biasa [diskon].

Seperti halnya, seorang ibu bertransaksi dengan ojek pangkalan, di mana ojek akan mengantar anaknya ke sekolah selama sebulan.

Biasanya upah mengantar selama sebulan Rp500 ribu. Tetapi, karena berlangganan, si ibu mendapatkan diskon menjadi Rp400 ribu.

Kemudian upah dibayar tunai dan selanjutnya ojek mengantarkan anaknya sesuai perjanjian. Jadi, upah tunai dan jasanya tidak tunai dengan diskon.

Ketiga, dalam istilah fikih, transaksinya adalah jual beli jasa untuk manfaat yang akan diserahterimakan atau ijarah maushufah fi dzimmah.

Deposit sebagai fee [ujrah] yang dibayar di muka dan jasa mengantar dibayar kemudian. Akadnya ijarah [maushufah fi dzimmah], maka menjadi hak pihak yang menyewakan jasa (perusahaan jasa transportasi daring) untuk memberikan diskon sebagai bonus (‘athaya) yang dibolehkan oleh syara’.

Transaksi ini diperkenankan sebagaimana dalam standar Internasional AAOFI: Akad al-Ijarah al-maushufah fi al-dzimmah boleh dilakukan dengan syarat kriteria barang sewa dapat terukur …, dan dapat diserahterimakan pada waktu yang disepakati ….”

Keempat, dengan kontrak ijarah, deposit menjadi milik perusahaan jasa transportasi daring sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh costumer dengan ditarik tunai atau ditransfer ke pihak lain, kecuali sebagai pinjaman dengan seluruh konsekuensi hukumnya [qardh].

Kelima, menjaga adab-adab Islam dalam bermuamalah dan bepergian.
Dengan demikian, keikutsertaan costumer dalam top up dibolehkan menurut fikih dengan memenuhi ketentuan transaksi ijarah [maushufah fi dzimmah]. “Wallahu a’lam,” jawabnya. (bpc2)

Published by
Melba Ferry