Kisah Awal GM Golden Tulip Essential Hotel Memulai Karir, Sempat Gagal Tapi Tak Menyerah

Share

BERTUAHPOS.COM (BPC), PEKANBARU – Mengenal Lebih Dekat General Manager Golden Tulip Essential Hotel Pekanbaru, Tomy Yovan Andriansyah yang pernah di Luar Negeri, Uni Emirat Arab (UEA) Dubai.

Karir yang dijalani Tomy Yovan Andriansyah bisa dibilang cepat di bidang perhotelan. Di usia 36 tahun dia sudah dipercaya menjabat sebagai General Manager (GM). 

Selepas jam istirahat, Tomy Yovan Andriansyah bisa ditemui di restoran Forestre’ Coffee Lounge & Kitchen Golden Tulip Essential Pekanbaru. Mengenakan kaca mata, pria kelahiran Jakarta, 18 September 1977 tersebut menceritakan perjalanan karirnya sambil menikmati hidangan kue dan coffee ala Forestre’.

Lulus dari Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP), Tomy mencoba mencari pekerjaan sesuai jurusan yang diambilnya saat sekolah, yaitu dibidang travel pada tahun 1995. “Tamat sekolah waktu itu, dalam hati saya berkata, pokoknya saya mau kerja di travel,” harapannya saat lulus sekolah.

Namun, bukan di bidang travel yang didapat Tomy, malah ia diterima bekerja di Hotel untuk pertama kalinya setelah menyelesaikan pendidikan di SMIP.

Diceritakannya, awal bekerja di Hotel sebagai casual. “Dari situ saya belajar dunia perhotelan dan bahasa inggris. Karena tamu-tamu hotel juga banyak bule. Jadi bener-bener belajar dengan ilmu yang tidak didapatkan di sekolahan,” ungkapnya.

“Waktu itu bayaran harian masih sekitar Rp 16.500 per hari pada tahun 1995 dimana Upah Minimum Kerja (UMK) Jakarta saat itu Rp 500.000. Delapan jam kerja upah harian saya itu Rp 16.500 sudah menghidupi saya untuk makan, ongkos sendiri dan lainnya,” tambahnya.

Tomy bersyukur ada rezeki datang setelah 1 tahun diangkat menjadi staff pada tahun 1996. “Dari situ belajar, dari Casual di banquet hingga masuk restoran dan lainnya. Saya terus belajar hingga saya tiba keinginan untuk mencoba kuliah dan tentunya tidak berhenti kerja. Saya kuliah tahun 2000 dengan ambil jurusan S1 Ekonomi Akutansi. Saya suka nekad dan suka tantangan,” katanya.

Selain itu dalam perjalanan hidupnya, di semester pertama Tomy mengaku sempat gagal mendapatkan nilai yang memuaskan. Hal ini disebabkan masih belum mengerti tentang dunia akuntansi. “Semester 1 gagal, nilai jelek semua, ini karena kan masih gagap, belum mengerti tentang akuntansi,” kenangnya.

Tomy harus membagi waktu kerja dan kuliah. Dia bekerja mulai pukul 23.00 wib sampai pukul 07.00 pagi. Untuk kuliah dimulai pukul 08.00 pagi sampai jam 16.00 wib. “Alhamdulillah semester 2 dan selanjutnya saya mulai mengerti dan paham,” ujar Tomy.

Tahun 2004 lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3 dan masih bekerja di hotel yang sama. Sebelum lulus di tahun 2004 Tomy pernah mencoba melamar kerja di Dubai dengan ikut tes di salah 1 hotel bintang 5 di Ibukota Jakarta.

Tes awal lulus, hingga saringan ke 3 ia gagal. Meskipun sempat gagal, Tomy tidak merasa kapok untuk terus mencoba jika ada kesempatan lagi. Hingga 1 bulan kemudian, kembali dibuka penerimaan karyawan hotel di group yang sama dengan hotel sebelumnya. 

“Saya coba lagi interview cuma 10 menit langsung lolos. Gak nyangka-nyangka. Bagi saya, intinya masak sekali gagal aja langsung ciut. Namanya usaha cobain lagi sampai berhasil,” motifasi Tomy saat itu.

Tiba saatnya, berangkatlah dia ke Dubai. Setiba disana, diakuinya ternyata level bahasa inggris Tomy masih jauh ketinggalan dibanding orang-orang yang berada disana. Kemudian Tomy pun menjalaninya sambil belajar hingga ia lupa kalau dirinya belum wisuda dan belum sidang skripsi. Akhirnya Tomy memutuskan pulang untuk menyelesaikan sidang, dan selesai sidang ia berangkat kembali ke Dubai untuk kerja.

“Berhubung sudah 1 tahun di Dubai, salah satu kebahagiaan orang tua adalah melihat anaknya wisuda. Ya udahlah saya pulang, wisuda tahun 2005. Usai wisuda cari kerja dan mulai menapaki karir dari Supervisor Front Office (FO) hingga menjadi GM,” tukasnya.

Awal dipercaya menjadi GM di Ibis Hotel Solo pada tahun 2013. Disitulah Tomy menetapkan pilihan tinggal di Solo dan jatuh cinta dengan kota Solo. Hal yang membuat Tomy cinta dengan kota Solo adalah posisinya yang terletak di tengah-tengah. “Mau ke Jogja nyetir 1 setengah jam, ke Semarang nyetir 1 setengah jam. Mau ke pantai 2 jam. Mau ke gunung 1 jam, semua terjangkau. Jadi kotanya di tengah-tengah. Nah, itulah yang membuat saya jatuh cinta dengan kota Solo. Kebetulan istri saya orang Semarang,” sebutnya.

Sejak 2013 hingga saat ini, anak kedua dari empat bersaudara ini dipercaya menjadi GM dibeberapa hotel, dari satu kota ke kota lain. Mulai dari Solo, Balik Papan, Surabaya sampai di Pekanbaru, Riau.

Bagi Tomy, gagal itu bukan berarti tidak mampu, namun belum ketemu saja jalan yang disukai. “Saya dulu juga tidak ada keinginan belajar akuntansi. Lihat saja sekolah travel, kerja di hotel ambil kuliah jurusan akutansi. Sebelum saya keluar negeri saya sempat kerja 1 bulan di pialang saham dengan kerja paruh waktu. Saya berani ambil kerja sekali dua karena tempat kerja saya seberang-seberangan. Ternyata main saham ini bukan style saya. Ternyata passion saya di hotel, dengan pengalaman setelah mencoba kerja ditempat lain,” paparnya.

Sambung bapak dari 2 orang anak ini, dia percaya bahwa kemampuan seseorang akan keluar pada titik maksimal atau dalam tekanan. “Waktu itu status saya sudah karyawan permanen tahun 1997. Status karyawan yang saya dapat tidak membuat kita maju dan membuat kita lebih termotivasi. Kenapa? Karena kemampuan seseorang akan keluar pada titik maksimal dalam keadaan under pressure atau terdesak. Itu salah satu yang saya pelajari saat di luar negeri. Pilihannya cuma 2, dia menyerah atau keluarkan kemampuan terbaiknya. Saat dia menyerah berarti itulah kemampuan terbaiknya. Saat dia mengeluarkan kemampuan terbaiknya itulah sisi skill dia yang belum terexplore,” kata Tomy.

Baginya, hasil tidak akan pernah menghianati usaha. Dan jangan pernah coba untuk menyerah. 

“Tahun 2014 saya mencoba ambil gelar Certified Hotel Administrator (CHA) dari  American Hotel & Lodging Education Institute (AHLEI). Sekarang saya ditantang  ambil S2. Intinya jangan pernah merasa pintar dan puas di posisi sekarang. Sedangkan dari Rasullullah saja, ilmu itu dituntut terus belajar sampai mati. Jangan pernah berhenti belajar, kalo seseorang sudah berhenti belajar berarti dia sudah merasa pintar, kalo sudah merasa pintar dikasih nasehat akan mental alias tidak akan bisa diterima, karena dia merasa paling benar,” pesannya.

Saat ditanya salah satu kenangan yang membekas, Tomy mengatakan adalah dimana dia interview untuk posisi jabatan GM di salah satu hotel Chinese Indonesia terkenal. “Prosesnya panjang sekali, karena kualitas operatornya sangat tinggi sekali, sehingga interviewnya memang panjang sampai ada tes psikologi, psikotes sampai medikal tesnya memang detail. Dan saya gagal di psikotes. Sangat membekas sekali. Kenapa saya gagal di psikotes. Tapi saya gagal di situ saya malah diterima ditempat lain, yang secara peringkat dia di atas operator yang saya gagal di psikotes tadi. Pelajarannya adalah, gagal saya harus banyak belajar dimana hal yang membuat saya gagal tadi. Awalnya sempat trauma namun saya terus belajar bagaimana psikotes tersebut. Alhamdulillah setelah itu saya bisa melewati psikotes. Pahit memang, namun nikmati prosesnya,” kenangan pahit yang pernah dialaminya.

Bagi Tomy, hotel itu simple. Ilmunya cuma satu, hospitality. “Kalau anda punya bakat ramah, murah senyum anda pasti punya bakat di hotel. Kalau attitude nya bagus anda bisa sukses. Karena skill sesuatu yang bisa dipelajari, ada ilmunya, ada bukunya. Kalo attitude ilmunya gak ada, itu datangnya dari rumah, dimana anda dibesarkan,” jelasnya.

Disinggung terkait membagi waktu dengan keluarga, Tomy mengaku untuk membagi waktu dengan keluarga, dia bisa memanfaatkan perkembangan teknologi dengan vidio call dan lain sebagainya. Setiap bulan ia usahakan untuk pulang menemui anak dan istrinya di Solo. Begitu juga sebaliknya, saat liburan sekolah, keluarganya yang datang ke Pekanbaru. (bpc7)