Berita

Malangnya Nasib Petani “Emas Cokelat” itu Kini: Untuk Cukup Makan Saja Susah

Share

BERTUAHPOS.COM – Yang tergambar hanya satu: sulitnya bagi masyarakat untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Jangankan berpikir untuk membeli barang mewah atau untuk memenuhi kebutuhan sekunder lainnya seperti membangun rumah dan membeli kendaraan, untuk mempertahankan kelangsungan hidup saja sudah banyak yang mengaku kewalahan.

Pangkal penyebabnya adalah merosotnya nilai jual sejumlah komoditas perkebunan yang selama ini menjadi andalan perekomian masyarakat. Terutama gambir, sejak harganya tidak pernah membaik lagi di pasaran, sudah tidak sedikit petani yang frustasi untuk memelihara –apalagi menggantungkan harapan dan masa depan pada— komoditas itu.

Itulah gambaran yang tampak ketika mendatangi sejumlah perkampungan sentra produksi gambir di Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, yaitu Kecamatan Pangkalan Koto Baru dan Kecamatan Kapur IX. Belakangan masyarakat di sejumlah kecamatan di kabupaten yang sama sudah mulai membudidayakan gambir. Daerah lain di provinsi yang sama, yang masyarakatnya banyak menggantungkan sumber ekonominya dari gambir adalah Kabupaten Pesisir Selatan.

‘’Makmur apa?’’ ujar seorang petani gambir di Nagari (nagari merupakan unit pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat, sama dengan desa) Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, balik bertanya saat ditanya apa umpan balik ekonomi dari komoditas gambir yang ia kelola mampu membuat hidup diri dan keluarganya menjadi makmur? “Untuk cukup makan saja sudah susah.”

Menurut Bardi, 43, nama petani itu, jangankan berlebih, bisa saja komoditas yang dihasilkan perkebunannya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sudah lebih dari cukup.

‘’Saya masih mengolah gambir karena memang tidak ada pekerjaan lain.’’ Ia juga bercerita, kebun gambir itu merupakan warisan orangtuanya, keterampilannya mengelola gambir juga merupakan warisan. ‘’Saya bersama saudara-saudara tidak pernah diajarkan orangtua untuk mengelola usaha di luar gambir,’’ katanya, Senin (12/9/2022).

Kondisi terberat dirasakan saat nilai jual gambir rendah, seperti yang dirasakan selama beberapa tahun belakangan, sementara keterampilan lain untuk mencari nafkah hampir tidak punya. ‘’Terpaksa tetap mengolah gambir agar bisa bertahan hidup,’’ ia menambahkan.

Page: 1 2 3