Berita

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Bisakah Hadis Al-Bukhari Satu-satunya Rujukan?

Share

BERTUAHPOS.COM, PEKANBARU — Soal kepemimpinan dalam Islam memang identik dengan laki – laki. Namun, saat ini ada banyak perempuan membuktikan kemampuan mereka untuk menjadi seorang pemimpin.

Masalah kepemimpinan perempuan tidak luput dari polemik dan perdebatan. Kalimat ini lah sebagai pembuka sebuah artikel berjudul: Kepemimpinan Perempuan yang ditulis oleh Mariyam Sundari, seorang pengamat perempuan, yang tayang pada laman retizen.republika.co.id, pada Sabtu, 18 Juni 2021.

Polemik dan perdebatan soal kepemimpinan perempuan dalam Islam, di satu sisi ada pihak yang mengharamkan. Namun di sisi lain ada juga kelompok yang membuka kesempatan itu kepada kaum hawa. 

Kelompok yang membolehkan perempuan menjadi seorang pemimpin, getol dengan mengotak-atik dalil-dalil terkait perempuan dalam Islam. 

Tujuannya baik laki – laki atau perempuan boleh jadi pemimpin. Menurut mereka perempuan secara mutlak boleh menjadi pemimpin sebagaimana laki-laki.

Di antara dalil yang sering mereka permasalahkan adalah hadits riwayat Imam al-Bukhari yang melarang wanita menjadi pemimpin negara: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita. (HR al-Bukhari).

Salah satu pegiat di kelompok ini adalah Fatima Mernissi. Dia berpendapat bahwa hadits di atas tidak dapat dipakai sebagai hujjah disebabkan kualitas perawi cacat. Hadits itu mengomentari putri Kisra yang tidak kapabel. Matan hadits ini tidak bisa menunjukkan larangan (pengharaman).

Selain menyoroti matan hadits, Mernissi juga menyebutkan bahwa hadits tersebut pada tabaqat sahabat hanya diriwayatkan oleh satu rantai, hanya Abu Bakrah saja, atau hadits ini termasuk hadits ahad yang gharib. Karenanya tidak layak dijadikan dalil.

Perbincangan seputar kehijauan hadits Ahad sudah terjadi di masa para Imam perawi hadits, di antaranya Imam al Nawawi dalam Mukadimah Syarh Shahih Muslim menyatakan, bahwa pendapat yang dipegang oleh mayoritas kaum muslim dari kalangan sahabat dan tabiin, juga kalangan ahli hadits, fukaha juga ulama ushul yang datang setelah para sahabat dan tabiin adalah: khabar ahad (hadits ahad) yang tsiqqah adalah hujjah syari yang wajib diamalkan. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim hlm 71)

Jadi, pendapat jumhur ulama justru menguatkan kehujahan hadits ahad. Artinya, kita tidak bisa menolak hasil istinbath hukum dari hadits tersebut selama kesahihannya bisa dipercaya.

Berdasarkan kesimpulan ini, penggunaan hadits riwayat Abu Bakrah di atas sebagai dalil pengharaman perempuan menduduki jabatan pemimpin pemerintahan harus diterima. Dengan kata lain, kebolehan perempuan menjabat pemimpin pemerintahan menyalahi hukum yang sudah ditetapkan Baginda Rasulullah SAW. 

Wallahuallam.

(bpc2)