BERTUAHPOS.COM — Polemik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City kembali memanas. BP Batam kini melibatkan aparat militer untuk mempercepat pembangunan proyek tersebut, kata Manager Kampanye Pengarusutamaan Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau, Ahlul Fadli.
Dia menyebut, hal ini sebagai bentuk pendekatan militeristis—yang justru memperburuk situasi di Rempang. Keputusan BP Batam bertolak belakang dengan arahan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang sebelumnya menyerukan evaluasi terhadap PSN.
“Pelibatan Korem ini memperlihatkan bagaimana negara menggunakan pendekatan kekerasan untuk memaksakan kebijakan. Padahal, pemerintah seharusnya mengevaluasi proyek ini dan memastikan tidak ada lagi korban akibat konflik,” tegasnya.
Ahlul juga mengingatkan pentingnya prinsip free, prior, informed consent (FPIC)—persetujuan masyarakat terdampak—dalam setiap proyek pembangunan. Hingga kini, BP Batam dianggap gagal transparan terkait data penerima relokasi dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
“BP Batam belum pernah membuka data penerima relokasi, yang kami duga tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Selain itu, dokumen Amdal yang seharusnya menjadi syarat utama proyek ini pun belum ada,” ujarnya.
WALHI Riau juga menyoroti peran PT Makmur Elok Graha (MEG)—perusahaan yang sebelumnya terlibat dalam insiden kekerasan di Rempang pada Desember lalu. NGO ini mempertanyakan hubungan PT MEG dengan proyek ketahanan pangan yang akan digarap oleh BP Batam bersama Korem.
“Mengapa BP Batam lebih memilih bekerja sama dengan PT MEG dibandingkan masyarakat Rempang yang sudah bertahun-tahun mengelola hasil pertanian dan perkebunan? Ini sangat mencurigakan,” tambahnya.
Atas dasar itu, WALHI mendesak pemerintah—khususnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto—untuk menindaklanjuti rencana evaluasi PSN yang sebelumnya disampaikan oleh Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
“PSN Rempang Eco-City adalah contoh kebijakan yang merugikan masyarakat. Proyek ini mengancam identitas dan mata pencaharian ribuan warga Rempang. Pemerintah harus segera menghentikan dan mencabut proyek ini,” tutup Ahlul.
Konflik di Rempang yang terus berlanjut menegaskan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan transparan dalam pembangunan nasional. Menurutnya, keberlanjutan proyek ini tanpa persetujuan masyarakat hanya akan memperpanjang daftar luka sosial dan ekologis di Indonesia.***