BERTUAHPOS.COM — Pemerintah berupaya memetakan peluang kredit karbon di lahan gambut melalui solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS) dengan melindungi, mengelola, dan memulihkan ekosistem.
Langkah ini sejalan dengan pencarian pasokan NBS, terutama dari lahan gambut, guna mengoptimalkan perdagangan karbon internasional.
Dalam Climate Policy Outlook 2025 yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menyoroti belum optimalnya perdagangan karbon meskipun telah dibuka secara internasional.
“Kami sedang mencari pasokan sebanyak-banyaknya, khususnya dari NBS berbasis gambut,” ujarnya, dikutip dari Antara.
NBS menjadi proyek prioritas untuk melindungi dan memulihkan lahan, memungkinkan alam menyerap lebih banyak emisi karbon dioksida (CO2). Proyek ini dapat diarahkan pada pemasaran, perdagangan, dan penjualan kredit karbon.
Menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia menempati urutan keempat dunia dalam luas lahan gambut setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat.
Lahan gambut berperan penting sebagai penyimpan karbon, pengatur tata air, serta konservasi keanekaragaman hayati.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengakui NBS sebagai solusi krusial dalam menghadapi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim juga menegaskan bahwa NBS berkontribusi dalam membatasi pemanasan global hingga 1,5°C pada 2030.
Namun, ekosistem gambut masih kerap dianggap sebagai lahan tidak produktif yang dapat dieksploitasi daripada direstorasi.
Global Wetland Outlook melaporkan bahwa kehilangan lahan basah terjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan alami. Sementara itu, Ramsar Convention on Wetlands menyebutkan bahwa 64% lahan basah dunia telah hilang sejak awal abad ke-20.
Juru Kampanye Pantau Gambut, Abil Salsabila, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi ekosistem gambut di Indonesia.
“Sebagai rumah bagi gambut tropis terbesar kedua di dunia, perlindungan ekosistem ini masih sangat memprihatinkan,” katanya dalam keterangan tertulis.
Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup, Sigit Reliantoro, mengklaim bahwa pemerintah telah merestorasi 4,1 juta hektare lahan gambut dalam beberapa tahun terakhir.
Upaya ini diperkirakan mampu mengurangi emisi sekitar 302,9 juta ton CO2 per tahun. “Peluang perdagangan karbon dari restorasi ini bisa mencapai Rp48 triliun hingga Rp184 triliun per tahun,” ujarnya.
Dia juga menyebut bahwa strategi Environmental, Social, and Governance (ESG) mulai menaruh perhatian pada restorasi ekosistem gambut sebagai bagian dari inisiatif keberlanjutan.
Namun, Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menilai bahwa restorasi lahan gambut selama satu dekade terakhir belum memberikan hasil yang memuaskan.
“Jutaan hektare lahan mengalami kebakaran hebat yang terus berulang setiap tahun. Hal ini semakin diperburuk oleh alih fungsi lahan untuk proyek lumbung pangan,” ungkapnya.
Dengan tantangan yang ada, upaya pemanfaatan kredit karbon dari lahan gambut diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengurangan emisi dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.***