PEKANBARU — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menegaskan bahwa tawaran transmigrasi lokal yang dibawa oleh Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanegara, saat kunjungan ke Rempang pada 18 April 2025 bukanlah solusi atas konflik Rempang Eco-City. Menurut WALHI, pemindahan warga dari kampung lama ke lokasi relokasi sama artinya dengan penggusuran.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, menyatakan bahwa transmigrasi lokal bukanlah jawaban yang dikehendaki masyarakat Rempang. “Pemindahan paksa, meski dibungkus dengan istilah ‘transmigrasi lokal’, tetap saja menggusur. Ini bukan hanya menghilangkan ruang hidup masyarakat, tapi juga mengancam identitas sejarah dan budaya mereka yang telah tinggal sejak 1834,” ujar Eko.
Ia menambahkan, proyek Rempang Eco-City yang bertujuan membangun kawasan industri justru menciptakan ketimpangan ruang dan beban lingkungan. Para nelayan dan petani di Pulau Rempang menjadi pihak yang paling terdampak, karena proyek tersebut berpotensi menghancurkan ekosistem laut dan mengurangi lahan produktif.
Sementara itu, suara penolakan juga datang dari masyarakat sendiri. Ishaka, perwakilan Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB), menyampaikan bahwa relokasi tidak dapat menggantikan nilai kampung halaman. “Kami sudah hidup nyaman di kampung kami. Kehadiran proyek ini justru membuat kami terusik,” ucap Ishaka.
Menurutnya, sejak pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banun dimulai, warga sekitar mengeluhkan rusaknya hutan mangrove dan matinya ikan-ikan di keramba akibat limpasan lumpur dari proyek. Jika warga dari 16 titik kampung tua dipusatkan ke satu area, maka konflik horizontal di antara nelayan bisa timbul akibat perebutan ruang tangkap. Sedangkan untuk petani, tanah seluas 500 m² yang dijanjikan di relokasi tidak mencukupi untuk melanjutkan mata pencaharian mereka.
Ishaka juga mengkritik pemerintah yang dinilai lebih mendengar keinginan investor ketimbang masyarakat yang telah lama tinggal di Rempang. “Kami tidak butuh relokasi. Yang kami butuhkan adalah pengakuan negara atas kampung tua dan perlindungan atas sumber daya alam laut dan darat yang menjadi tumpuan hidup kami,” tegasnya.
WALHI Riau pun menyerukan agar pendekatan pembangunan tidak mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan mendesak pemerintah untuk menghormati pilihan hidup warga Rempang tanpa paksaan atau intimidasi.***