BERTUAHPOS.COM — Beban usaha perusahaan asuransi mengalami lonjakan signifikan sepanjang 2024. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa beban usaha perusahaan asuransi umum meningkat drastis dari Rp1,37 triliun menjadi Rp16,95 triliun dalam periode Januari hingga November 2024. Tren serupa juga terjadi di industri asuransi jiwa, yang mencatat lonjakan beban usaha dari Rp1,59 triliun menjadi Rp19,93 triliun.
Dilansir dari Bisnis.com, Minggu, 2 Februari 2025, pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), Abitani Taim, mengungkapkan bahwa kenaikan beban usaha ini tidak semata-mata disebabkan oleh meningkatnya klaim asuransi. Menurutnya, ada sejumlah faktor lain yang turut berkontribusi, seperti beban operasional, laba atau rugi investasi, serta persiapan implementasi standar akuntansi baru.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan beban usaha adalah biaya persiapan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117. Abitani memperkirakan bahwa pada 2025, industri asuransi akan menghadapi potensi kerugian dalam laporan keuangan akibat peralihan dari PSAK 64 ke PSAK 117. Penyesuaian ini berisiko menggerus ekuitas perusahaan.
“Peningkatan beban perusahaan di tahun 2024 bisa juga disebabkan oleh biaya persiapan penerapan PSAK-117. Tahun 2025 kemungkinan akan ada kerugian dalam laporan keuangan akibat penyesuaian dari PSAK 64 ke PSAK 117 yang akan menggerus ekuitas perusahaan,” ujar Abitani kepada Bisnis pada Sabtu (1/2/2025).
Untuk mengatasi lonjakan beban usaha, perusahaan asuransi perlu menyesuaikan strategi berdasarkan faktor yang paling berkontribusi terhadap kenaikan tersebut. Jika beban operasional menjadi penyebab utama, maka langkah efisiensi perlu dilakukan, salah satunya dengan otomatisasi dan digitalisasi proses bisnis.
Di luar faktor persiapan PSAK-117, industri asuransi juga menghadapi tantangan dalam memperbaiki proses underwriting. Hal ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang melarang perusahaan asuransi membatalkan klaim sepihak. Konsekuensinya, perusahaan harus memperketat proses underwriting guna meminimalisir potensi sengketa klaim di masa depan.
Menurut Abitani, efektivitas dalam underwriting harus menjadi prioritas utama, meskipun memerlukan biaya tambahan. Biaya tersebut dianggap sebagai investasi untuk memastikan risiko yang diterima sesuai dengan asumsi saat penentuan tarif premi.
“Artinya, jika diperlukan biaya berapapun, akan dikeluarkan untuk memastikan efektivitas proses underwriting agar risiko yang diterima sesuai dengan perhitungan premi. Maka, beban lain seperti akuisisi dan pemasaran harus menyesuaikan agar tetap kompetitif,” tegasnya.
Dengan berbagai tantangan tersebut, industri asuransi perlu melakukan reformasi dalam operasional dan strategi bisnisnya guna menjaga stabilitas keuangan serta meningkatkan daya saing di tengah perubahan regulasi dan dinamika pasar.***